Siapa tak senang mendapat teman baru ?, saya juga senang
tentu-nya. Apalagi teman baru saya adalah sosok yang lebih hebat dari kata hebat,
lebih brilian dibanding kata brilian, dan ehm—sejauh ini saya masih belum
bisa menemukan sebuah kata yang tepat untuk dapat mewakili sosoknya.
Dua tahun yang lalu, saya bertemu dengan beliau di sebuah
toko buku, pada waktu itu saya sedang berburu kado ulang tahun untuk ayah dan
ibu yang memang berdekatan tanggal ulang tahunnya. Dan memang telah tercantum
dalam wishlist saya tahun ini untuk
memberi kado ayah dan ibu sebuah buku dengan dalih saya ingin menyebarkan virus
kutu buku saya kepada mereka. Di salah satu sudut meja tumpukan buku, beliau
menyapa saya. Awalnya, saya tidak terlalu yakin untuk membalas sapaan beliau,
apalagi mendekat untuk berkenalan dan sebagainya. Namun, faktanya tidak
demikian, saya balas sapaan beliau, saya dekati beliau, bahkan saya jabat
tangan beliau.
Saat itu beliau mulai bercerita tentang kepergian
Annelies, kemarahan dan kesedihan Minke dan Mama setelah kepergian Annelies. Dan
tebak, bagaimana ekspresi saya pada saat itu ?, bibir tersenyum lebar tanpa menampakkan
gigi-gigi, mata menyipit, dengan otak penuh tanda tanya berukuran besar, sedang
dan kecil, berputar-putar seolah masuk dalam tornado yang sedang mengamuk. Minke,
siapa ia ?, siapa itu Mama ?, siapa pula Annelies itu ?, ah..orang ini
bercerita apa sih ?. Namun, karena akan terasa tidak sopan jika saya cuek
terhadap beliau, maka saya dengarkan saja cerita beliau sampai akhirnya senja
menghampiri dan beliau minta undur diri.
Suatu hari, beliau berkunjung datang ke rumah—bertamu. Saya
menduga beliau akan kembali berceloteh tentang Minke, Mama dan Annelies. Dan
tidak meleset dugaan saya, ia melanjutkan cerita bersambung di toko buku kala
itu. Tak hanya nama Minke, Mama dan Annelies, ada beberapa nama baru yang ia
sebutkan, Robert Suurhof, juga Panji Darman. Dan masih saja saya tak tertarik
pada cerita-cerita beliau, cerita yang susah untuk dipahami, atau mungkin lebih
tepat disebut saya malas untuk memahami. Hanya secuil cerita yang mampu saya
tangkap saat itu—tentang surat-surat cinta Robert Suurhof pada Annelies yang baru
diketahui oleh Minke, padahal rekan-rekan Minke telah mengetahuinya lebih dulu,
tentang cincin berlian Annelies hadiah pernikahan dari Robert yang kemudian
terungkap sebagai hasil curian Robert dari makam Tionghoa, tentang surat-surat
Panji Darman yang mengabarkan keadaan Annelies yang semakin memburuk dan telegram
Panji Darman yang mengabarkan kepergian Annelies pada sang pencipta.
Lambat laun saya menyadari, saya telah ditariknya masuk ke
dalam cerita-ceritanya. Apalagi saat cerita beliau mulai menyinggung tentang
keagungan Jepang, negara yang menjadi impian saya sejak kecil, negara dimana
Conan Edogawa, salah satu karakter idaman saya dilahirkan dan dibesarkan oleh
Gosho Aoyama, dan yang paling menarik—Minke adalah juga seorang pengagum Jepang.
Jepang,
penduduknya telah diakui sederajat dengan penduduk Eropa. Satu-satunya bangsa
Asia yang diakui sederajat dengan bangsa kulit putih. Bangsa yang tak pernah
dijajah oleh Eropa ini memiliki kehormatan yang tinggi di mata bangsa-bangsa
maju lain di dunia. Sedangkan bangsa ini, bangsaku sendiri, entahlah apa yang
sedang berkembang dalam diri bangsa ini. Kurang lebih demikian penuturan beliau
senja itu, jika saya tidak keliru dalam memahaminya.
Esok harinya, saya dengarkan cerita beliau dengan lebih
antusias dibanding sebelumnya. Ya, siapa bisa menduga, suatu hari keterpaksaan dan
kemalasan itu berubah menjadi rasa penasaran yang tak lagi bisa dibendung. Penasaran
akan sosok seorang Minke, Mama dan bangsaku yang semakin menjadi. Penyesalan
akan rasa malas untuk memahami cerita yang beliau sampaikan dengan begitu
indahnya mulai menghantui. Beruntunglah, baru sepenggal-dua penggal cerita yang
terlewatkan untuk saya pahami.
Perdebatan antara Minke dan Jean Marais masih saja alot, Minke
masih bersikeras untuk tidak menulis dalam bahasa ibu—melayu atau jawa. Sedang Jean
berharap Minke bersedia menulis dalam bahasa pribumi, sehingga Minke bisa
membuat mereka—pribumi menjadi lebih terpelajar dan Minke jauh lebih bisa
mengenal bangsanya sendiri. Seperti bangsa Jepang, kalau saja semua orang
Jepang tak mau menulis dalam bahasanya sendiri, entah akan jadi seperti apa
Jepang sekarang. Demikianlah, perdebatan Minke dan Jean menutup cerita hari
ini.
Akhirnya, saya harus mengakui cerita beliau benar-benar
telah jadi candu bagiku, siang, pagi, malam, tiga kali sehari, bahkan kadang
bisa lebih. Saya dengarkan mulai dari kata per kata sampai kalimat per kalimat.
Dan tak segan kuminta beliau untuk mengulang cerita bila saya merasa bingung
atau ada kalimat yang terlampau indah dan pantas untuk dikutip sebagai
kata-kata mutiara, kalimat yang bisa jadi penyemangat di saat jiwa sedang dalam
keadaan sesat maupun sekarat.
Mama, Nyai Ontosoroh, dalam pernyataan mutiara-nya : “Yang
modern memang hanya alat-alatnya, dan caranya. Manusia tetap, tidak berubah, di
laut, darat, di kutub, dalam kekayaan dan kemiskinan bikinan manusia sendiri”,
menampar sekaligus membuyarkan lamunan saya. Membuyarkan lamunan akan apa yang
telah bangsa ini raih, masih jauh, tertinggal jauh dari bangsa-bangsa itu,
Jepang, Amerika, Korea Selatan dan bahkan Singapura. Sekalipun, bangsa ini
telah merdeka dari penjajah, namun, semua tetap, tak berubah, manusianya,
bangsa ini masihlah terjajah, dengan alat dan cara yang lebih modern.
Bangsa lain telah jauh mengenalnya terlebih dahulu
dibanding saya, saya yang tidak lain adalah golongan sebangsanya ini baru sesaat
saja mengenalnya, jauh, tertinggal jauh dibanding bangsa-bangsa lain, Jepang,
Belanda, juga Jerman, yang telah jauh menerbitkan cerita beliau. Sudah
seharusnya saya merasa sangat malu pada beliau, karena justru dari beliau—lah saya
mengenal bangsa ini secara sejati. Mengenal sejati bangsa ini dari rekam sejarah
beliau. Dari beliau, saya belajar sejarah kelam bangsa ini dan dari beliau juga—lah
saya belajar untuk lebih mengagumi dan mencintai bangsa ini.
Ia teman baru saya, Pramoedya Ananta Toer, saya
memanggilnya Pram. Beliau bukan lembaran-lembaran tulisan yang menyusun sebuah
buku, namun beliau adalah sebuah bagian dari bangsa tertinggal di jamannya, dan
masih menjadi bangsa yang tertinggal di jaman sekarang. Begitulah awal-awal
pertemuan kami, lewat “Anak Semua Bangsa “ beliau yang memperkenalkan saya pada
sosok-sosok hebat pahlawan peradaban, sosok Minke yang budiman, sosok Nyai
Ontosoroh dengan filosofi kehidupannya, Jean Marais, Kommer, juga Marjuki dan
Trunodongso.
Dan ia sendiri, Pram, adalah pahlawan bagi saya, pahlawan
bagi bangsa saya, dan sekaligus pahlawan bagi semua bangsa yang pernah mengenal
dan mendengar cerita-cerita Pramoedya Ananta Toer.
Oleh : Septin Mulatsih Rezki
Oleh : Septin Mulatsih Rezki