Rabu, 06 Mei 2015

TEMAN BARU

Siapa tak senang mendapat teman baru ?, saya juga senang tentu-nya. Apalagi teman baru saya adalah sosok yang lebih hebat dari kata hebat, lebih brilian dibanding kata brilian, dan ehm­­—sejauh ini saya masih belum bisa menemukan sebuah kata yang tepat untuk dapat mewakili sosoknya.
Dua tahun yang lalu, saya bertemu dengan beliau di sebuah toko buku, pada waktu itu saya sedang berburu kado ulang tahun untuk ayah dan ibu yang memang berdekatan tanggal ulang tahunnya. Dan memang telah tercantum dalam wishlist saya tahun ini untuk memberi kado ayah dan ibu sebuah buku dengan dalih saya ingin menyebarkan virus kutu buku saya kepada mereka. Di salah satu sudut meja tumpukan buku, beliau menyapa saya. Awalnya, saya tidak terlalu yakin untuk membalas sapaan beliau, apalagi mendekat untuk berkenalan dan sebagainya. Namun, faktanya tidak demikian, saya balas sapaan beliau, saya dekati beliau, bahkan saya jabat tangan beliau.
Saat itu beliau mulai bercerita tentang kepergian Annelies, kemarahan dan kesedihan Minke dan Mama setelah kepergian Annelies. Dan tebak, bagaimana ekspresi saya pada saat itu ?, bibir tersenyum lebar tanpa menampakkan gigi-gigi, mata menyipit, dengan otak penuh tanda tanya berukuran besar, sedang dan kecil, berputar-putar seolah masuk dalam tornado yang sedang mengamuk. Minke, siapa ia ?, siapa itu Mama ?, siapa pula Annelies itu ?, ah..orang ini bercerita apa sih ?. Namun, karena akan terasa tidak sopan jika saya cuek terhadap beliau, maka saya dengarkan saja cerita beliau sampai akhirnya senja menghampiri dan beliau minta undur diri.
Suatu hari, beliau berkunjung datang ke rumah—bertamu. Saya menduga beliau akan kembali berceloteh tentang Minke, Mama dan Annelies. Dan tidak meleset dugaan saya, ia melanjutkan cerita bersambung di toko buku kala itu. Tak hanya nama Minke, Mama dan Annelies, ada beberapa nama baru yang ia sebutkan, Robert Suurhof, juga Panji Darman. Dan masih saja saya tak tertarik pada cerita-cerita beliau, cerita yang susah untuk dipahami, atau mungkin lebih tepat disebut saya malas untuk memahami. Hanya secuil cerita yang mampu saya tangkap saat itu—tentang surat-surat cinta Robert Suurhof pada Annelies yang baru diketahui oleh Minke, padahal rekan-rekan Minke telah mengetahuinya lebih dulu, tentang cincin berlian Annelies hadiah pernikahan dari Robert yang kemudian terungkap sebagai hasil curian Robert dari makam Tionghoa, tentang surat-surat Panji Darman yang mengabarkan keadaan Annelies yang semakin memburuk dan telegram Panji Darman yang mengabarkan kepergian Annelies pada sang pencipta.
Lambat laun saya menyadari, saya telah ditariknya masuk ke dalam cerita-ceritanya. Apalagi saat cerita beliau mulai menyinggung tentang keagungan Jepang, negara yang menjadi impian saya sejak kecil, negara dimana Conan Edogawa, salah satu karakter idaman saya dilahirkan dan dibesarkan oleh Gosho Aoyama, dan yang paling menarik—Minke adalah juga seorang pengagum Jepang.
 Jepang, penduduknya telah diakui sederajat dengan penduduk Eropa. Satu-satunya bangsa Asia yang diakui sederajat dengan bangsa kulit putih. Bangsa yang tak pernah dijajah oleh Eropa ini memiliki kehormatan yang tinggi di mata bangsa-bangsa maju lain di dunia. Sedangkan bangsa ini, bangsaku sendiri, entahlah apa yang sedang berkembang dalam diri bangsa ini. Kurang lebih demikian penuturan beliau senja itu, jika saya tidak keliru dalam memahaminya.
Esok harinya, saya dengarkan cerita beliau dengan lebih antusias dibanding sebelumnya. Ya, siapa bisa menduga, suatu hari keterpaksaan dan kemalasan itu berubah menjadi rasa penasaran yang tak lagi bisa dibendung. Penasaran akan sosok seorang Minke, Mama dan bangsaku yang semakin menjadi. Penyesalan akan rasa malas untuk memahami cerita yang beliau sampaikan dengan begitu indahnya mulai menghantui. Beruntunglah, baru sepenggal-dua penggal cerita yang terlewatkan untuk saya pahami.
Perdebatan antara Minke dan Jean Marais masih saja alot, Minke masih bersikeras untuk tidak menulis dalam bahasa ibu—melayu atau jawa. Sedang Jean berharap Minke bersedia menulis dalam bahasa pribumi, sehingga Minke bisa membuat mereka—pribumi menjadi lebih terpelajar dan Minke jauh lebih bisa mengenal bangsanya sendiri. Seperti bangsa Jepang, kalau saja semua orang Jepang tak mau menulis dalam bahasanya sendiri, entah akan jadi seperti apa Jepang sekarang. Demikianlah, perdebatan Minke dan Jean menutup cerita hari ini.
Akhirnya, saya harus mengakui cerita beliau benar-benar telah jadi candu bagiku, siang, pagi, malam, tiga kali sehari, bahkan kadang bisa lebih. Saya dengarkan mulai dari kata per kata sampai kalimat per kalimat. Dan tak segan kuminta beliau untuk mengulang cerita bila saya merasa bingung atau ada kalimat yang terlampau indah dan pantas untuk dikutip sebagai kata-kata mutiara, kalimat yang bisa jadi penyemangat di saat jiwa sedang dalam keadaan sesat maupun sekarat.
Mama, Nyai Ontosoroh, dalam pernyataan mutiara-nya : “Yang modern memang hanya alat-alatnya, dan caranya. Manusia tetap, tidak berubah, di laut, darat, di kutub, dalam kekayaan dan kemiskinan bikinan manusia sendiri”, menampar sekaligus membuyarkan lamunan saya. Membuyarkan lamunan akan apa yang telah bangsa ini raih, masih jauh, tertinggal jauh dari bangsa-bangsa itu, Jepang, Amerika, Korea Selatan dan bahkan Singapura. Sekalipun, bangsa ini telah merdeka dari penjajah, namun, semua tetap, tak berubah, manusianya, bangsa ini masihlah terjajah, dengan alat dan cara yang lebih modern.
Bangsa lain telah jauh mengenalnya terlebih dahulu dibanding saya, saya yang tidak lain adalah golongan sebangsanya ini baru sesaat saja mengenalnya, jauh, tertinggal jauh dibanding bangsa-bangsa lain, Jepang, Belanda, juga Jerman, yang telah jauh menerbitkan cerita beliau. Sudah seharusnya saya merasa sangat malu pada beliau, karena justru dari beliau—lah saya mengenal bangsa ini secara sejati. Mengenal sejati bangsa ini dari rekam sejarah beliau. Dari beliau, saya belajar sejarah kelam bangsa ini dan dari beliau juga—lah saya belajar untuk lebih mengagumi dan mencintai bangsa ini.
Ia teman baru saya, Pramoedya Ananta Toer, saya memanggilnya Pram. Beliau bukan lembaran-lembaran tulisan yang menyusun sebuah buku, namun beliau adalah sebuah bagian dari bangsa tertinggal di jamannya, dan masih menjadi bangsa yang tertinggal di jaman sekarang. Begitulah awal-awal pertemuan kami, lewat “Anak Semua Bangsa “ beliau yang memperkenalkan saya pada sosok-sosok hebat pahlawan peradaban, sosok Minke yang budiman, sosok Nyai Ontosoroh dengan filosofi kehidupannya, Jean Marais, Kommer, juga Marjuki dan Trunodongso.

Dan ia sendiri, Pram, adalah pahlawan bagi saya, pahlawan bagi bangsa saya, dan sekaligus pahlawan bagi semua bangsa yang pernah mengenal dan mendengar cerita-cerita Pramoedya Ananta Toer.

Oleh : Septin Mulatsih Rezki

Rabu, 18 Maret 2015

GADIS

 “Makasih, papa” Aku memandangi wajah Dera yang sumringah, baru saja dapet jatah dari papa.  “Dis, cepat ganti baju, nge-Maaaaaall !!!” Dera menatapku sedetik, berlalu, berlenggang, berdendang, menghilang dibalik pintu kamar. Papa menatapku, mengisyaratkan agar aku segera bersiap, menuruti permintaan Dera, nge-Mall.
“Lihat Dis, cantik kan ?”, Dera menyodorkan baju tidur sederhana berpolkadot biru, dan aku hanya mengiyakan dengan senyum dan anggukan. “Baiklah, karena aku sedang bahagia, aku belikan buat kamu juga deh.” Aku mengangkat bahu, pertanda pasrah, artinya terserah Dera. Lengan-langanku mulai menggerutu membawa belanjaan Dera yang se-abrek, kaki-kakiku pun mulai terseok-seok saat berjalan membawanya, entahlah, berapa toko yang sudah kami singgahi, ah terserahlah, asalkan cepat selesai aku akan mengiyakan untuk Dera.
“Kak, ambil tiga ya, biru, merah dan hijau”
“Mohon ditunggu sebentar kak, saya buatkan notanya”
Mataku memicing, mendengar dialog Dera dengan SPG.
“Tiga ???”
“Yang hijau buat mama, Dis. Kembaran sama mama juga, keren kan ?”

Aku menghela nafas, mengangkat bahu, pertanda pasrah, terserah Dera. Air mata menggenangi mataku, kucoba menahannya agar tak tumpah. Dera memang tidak gila, normal seperti gadis lainnya, bersekolah, berteman, gemar ngeMall, hanya satu yang ganjil, depresi Dera. Sudah ratusan kali aku dan papa menjelaskan kepergian Mama pada Dera, tapi nihil.


(Oleh : Septin Mulatsih Rezki)